Kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan mahasiswa belakangan ini seolah menjadi cermin yang memantulkan realitas yang keras dan menyesakkan. Baru-baru ini, mahasiswa UGM angkatan 2021 di Sleman dan seorang mahasiswi pendidikan dokter spesialis di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, memilih untuk mengakhiri hidup mereka sendiri. Kejadian-kejadian ini bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan jeritan pilu yang mungkin tidak pernah kita dengar sebelumnya.
Sebagai bagian dari generasi ini, aku merasa ada banyak hal yang perlu kita renungkan bersama. Dunia yang kita tinggali saat ini penuh dengan tuntutan yang semakin tak masuk akal, baik dari sisi akademik, sosial, maupun pribadi. Kita hidup dalam masyarakat yang terus-menerus mendorong kita untuk menjadi lebih, berbuat lebih, mencapai lebih, hingga tanpa sadar kita menuntut diri sendiri untuk menjadi sempurna. Dalam proses itu, kita sering kali lupa untuk memberi ruang bagi kegagalan atau bahkan sekadar merasa lelah.
Kehidupan abad ke-21 membawa perubahan besar dalam norma dan nilai-nilai sosial. Sekarang, kita dituntut untuk selalu melihat segala sesuatu dengan kacamata positif. Namun, di balik keharusan ini, banyak dari kita yang terjebak dalam kelelahan psikis yang tak berujung. Ketika segala sesuatu diukur dari pencapaian dan kesuksesan, kita cenderung menjadi lebih individualistis dan materialistis. Sebuah ironi, karena semakin kita berusaha untuk “lebih baik,” semakin kita merasa terasing dari diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Aku sering merenungkan, apakah benar hidup harus selalu tentang pencapaian dan kesempurnaan? Tuntutan untuk menjadi sempurna ini justru menciptakan ekspektasi yang tak realistis, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Akibatnya, kita semakin mudah merasa cemas dan tertekan. Mahasiswa, yang seharusnya berada dalam masa-masa paling produktif dan penuh semangat dalam hidupnya, kini justru menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap tekanan ini.
Namun, aku juga percaya bahwa dalam situasi yang seberat ini, kita masih punya pilihan. Kita bisa mulai dengan mengenali batasan diri kita sendiri. Tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak, merasakan apa yang sebenarnya terjadi dalam diri kita, dan tidak merasa malu untuk mencari bantuan profesional ketika kita merasa tak mampu menanggung semuanya sendirian. Pada titik ini, kita harus berani melawan stigma yang mengatakan bahwa mencari bantuan adalah tanda kelemahan.
Menjadi pendengar yang baik bagi diri sendiri dan orang lain juga membutuhkan energi psikis yang besar, namun itu adalah investasi yang sangat penting. Kita semua bisa berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang lebih sehat secara emosional, di mana kita tidak lagi perlu berpura-pura kuat ketika kita sebenarnya rapuh. Mendukung satu sama lain, memahami bahwa tidak ada manusia yang sempurna, dan menerima bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja—ini adalah langkah-langkah kecil yang bisa kita ambil untuk mencegah tragedi bunuh diri lebih lanjut.
Aku berharap ke depan, kita bisa bersama-sama menciptakan ruang di mana kita bisa lebih terbuka dan jujur tentang perasaan kita, tanpa takut dihakimi. Dalam dunia yang semakin kompetitif ini, mari kita ingat bahwa nilai hidup kita tidak ditentukan oleh seberapa sempurna kita di mata orang lain, tetapi oleh seberapa baik kita merawat diri kita sendiri dan satu sama lain.
Malang, 17 Agustus 2024
Post a Comment for "Fenomena Mahasiswa Bunuh Diri : Dampak Tuntutan Kesempurnaan dan Kelelahan Psikis"