Setelah beberapa tahun menjauh dari dunia komunitas kreatif, aku akhirnya berkesempatan untuk kembali. Semuanya bermula dari Kediri Book Party, sebuah acara yang sebenarnya aku datangi hanya dari undangan salah seorang teman. Dari sana, aku bertemu banyak kawan baru, berdiskusi dan undangan berlanjut untuk hadir di open mic mingguan Standup Indo Kediri. Komunitas ini mengingatkanku pada pengalaman dulu, sekitar lima tahun lalu. Meskipun tidak lucu, aku pernah aktif dan sempat jadi panitia salah satu show standup comedy di kotaku. Tapi waktu berjalan, aku keluar kota, mereka pun hilang dari radar.
Entah, komunitas stand up di kotaku masih ada atau tidak, tapi di sebuah angkringan “tanpa nama” di Kecamatan Mojoroto ini mengangatkanku pada momen-momen itu dulu.
Sekitar pukul delapan, malam itu hujan turun cukup deras, kerjaanku baru selesai, dan aku bisa saja memilih untuk rebahan, istirahat, atau binge-watch serial anime di kamar. Tapi entah kenapa, ada dorongan kuat yang membuatku tetap berangkat. Aku pergi bersama seorang teman, menempuh perjalanan 40 menit dengan motor di bawah gerimis yang kadang berubah deras.

Setibanya di sana, suasana sedikit sepi menyambutku. Beberapa anak muda yang sedang memegang mic diiringi tawa yang sedikit terpaksa bersahutan di angkringan sederhana dengan meja kayu dan beberapa kursi plastik. Ada aroma kopi yang seakan menunggu untuk dipesan, dan ada rasa nostalgia yang pelan-pelan memenuhi hatiku. Sekitar delapan hingga sepuluh komika tampil malam itu.
Jujur, nggak semua materi mereka berhasil membuatku tertawa. Kebanyakan topiknya terasa terlalu umum, tentang sales dan sopirnya, pengalaman di masjid, atau kemacetan Kediri. Tapi aku menyadari, aku tidak datang ke sini untuk menilai lucu atau tidaknya materi mereka. Aku lebih tertarik pada keberanian mereka. Berdiri di depan mikrofon, menyampaikan lelucon yang mungkin tidak ditertawakan, itu adalah keberanian yang tidak semua orang punya.
Yang lebih menarik lagi, aku malah banyak menikmati para penonton. Ada yang senyum sopan, dan ada juga yang sibuk menyeruput kopi sambil melamun. Setiap ekspresi itu memberitahuku bagaimana proses komedi bekerja: tidak semua lelucon akan berhasil, tapi setiap usaha adalah langkah penting dalam perjalanan mereka.
Aku jadi teringat saat pertengahan 2024, ketika aku membeli tiket final kompetisi Standup Indo Kediri. Tiketnya nggak murah, tapi aku tetap datang. Sama seperti malam ini, aku lebih menikmati proses mereka daripada hasil akhirnya.

Satu hal yang aku pelajari malam itu adalah betapa pentingnya bilang “iya” pada hal-hal yang mungkin awalnya terasa tidak masuk akal. Kalau aku menyerah pada capek dan hujan malam itu, aku mungkin akan melewatkan pengalaman ini. Aku nggak cuma menikmati suasana, tapi juga belajar banyak hal. Salah satunya adalah konsistensi komunitas ini. Mereka mungkin kecil, tapi mereka tetap ada. Komika-komika ini berasal dari berbagai latar belakang, dengan materi yang mungkin belum sempurna, tapi mereka terus mencoba.
Aku salut dengan proses yang mereka jalani. Komika daerah seperti mereka jelas punya tantangan besar. Tidak ada panggung besar, tidak ada lampu sorot mewah, dan tidak ada ribuan penonton yang otomatis tertawa. Tapi mereka tetap menulis materi, tampil, dan menghadapi risiko untuk tidak ditertawakan. Keberanian ini yang menurutku luar biasa.
Setelah show selesai, aku dan teman lainnya yang juga pernah ketemu di book party duduk lama di angkringan, ngobrol sambil ngopi. Kami membahas banyak hal, dari pengalaman kita yang sama-sama pernah menjadi jurnalis, ideologi, industri kreatif, hingga buku, meskipun kali ini aku yang pendiam malah banyak cerita.
Malam itu, aku merasa seperti menemukan kembali bagian kecil dari diriku yang pernah hilang. Aku pulang dengan hati yang lebih ringan, membawa pelajaran bahwa dunia kreatif tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Kadang, kita hanya perlu berhenti, mendengar, dan membuka diri lagi.
Post a Comment for "Catatan Kecil: Angkiran Tanpa Nama dan Stand Up Indo Kota Kediri"