
Ada kalanya manusia memandang kekayaan seperti cahaya gemerlap dari kejauhan, memikat hati untuk terus berlari tanpa henti. Mereka lupa, kilauan itu bukanlah jaminan kebahagiaan, melainkan ujian yang sering kali lebih berat daripada kemiskinan. Kekayaan yang berlimpah adalah pisau bermata dua; di satu sisi ia membawa kelegaan, di sisi lain ia bisa menjadi jebakan yang menggerogoti jiwa. Maka jangan meminta gunung emas, karena pundakmu tak selalu sanggup menanggungnya. Mintalah rasa cukup—sebuah anugerah yang membuat hati merasa penuh meski hanya memiliki segenggam nasi.
Rasa cukup adalah harta yang tak ternilai, seperti aliran sungai yang tak pernah kering, memberikan kesegaran tanpa keinginan yang berlebihan. Hiduplah dengan menakar setiap langkah, seperti menakar air di dalam bejana agar tidak melimpah dan tumpah. Manusia sering lupa bahwa hidup bukan tentang mengumpulkan sebanyak mungkin, tetapi tentang menjalani dengan keseimbangan yang tulus. Ketika kau hidup sesuai kemampuanmu, dunia tak lagi menjadi beban, melainkan pelukan hangat yang selalu siap menenangkan.
Seperti secangkir kopi di pagi hari, kehidupan menjadi nikmat ketika diseruput dengan perlahan, tak tergesa. Ditambah sebatang kretek yang hangat membakar, kau merasa dunia ini sederhana, penuh syukur dalam aroma yang mengalun. Bukankah hidup sejatinya adalah menikmati hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan mata? Tak perlu mengejar apa yang jauh di luar jangkauan, cukup pandang ke depan dengan rasa syukur yang terhampar di hadapan.
Jangan biarkan keserakahan menumpulkan inderamu untuk merasakan ketenangan. Kekayaan bukanlah apa yang terhimpun dalam laci, melainkan apa yang berdiam di hati. Nikmati setiap detik kehidupan seperti kau menikmati kopi—pahitnya adalah pelajaran, manisnya adalah hadiah. Biarkan angin membawa abu kretek yang terbakar, seperti semua keinginan yang tak perlu kau genggam. Dalam rasa cukup, di sanalah kau akan menemukan dirimu yang sejati.
Post a Comment for "Catatan Kecil: Bukan Kekayaan, Tapi Mintalah Rasa Cukup"