
Selesai shalat maghrib di masjid, aku mengambil Quran. Membaca lembar demi lembar, mencoba menenangkan pikiran. Setelah selesai, aku duduk merenung. Pikiran ini sudah menggelayut sejak sore tadi saat aku sedang mengedit video. Bahkan ketika mandi, bayangan itu masih hadir.
Sebenarnya sederhana saja, aku sedang memikirkan satu mimpi yang ingin benar-benar kuupayakan. Tetapi di sela-sela itu, muncul pertanyaan yang membuatku terusik: Kenapa aku sekarang hanya duduk di depan laptop, mengedit video seharian, dan paling-paling hanya selesai dua video? Haruskah begini selamanya?
Aku mulai berbicara dengan diriku sendiri, mencoba menjawab pertanyaan itu. Tidak, seharusnya tidak. Aku masih punya waktu, masih ada perjalanan panjang yang bisa kutempuh. Lalu muncul perdebatan baru: Apakah mimpimu itu harus diwujudkan? Jawabannya jelas: iya. Tapi, dari mana uang untuk memulainya?
Skenario pertama muncul di benakku: bekerja setahun lagi, menabung, lalu pergi. Tapi, umurku sudah hampir tiga puluh. Waktu terasa cepat, dan aku takut jika menunda lagi, mimpi itu akan terus menjadi mimpi. Maka aku coba berpikir lebih kreatif: bagaimana jika aku membuat channel YouTube, menjual produk digital, atau membuka kelas online? Semua itu bisa kujadikan sumber penghasilan sambil tetap mengejar ekspedisiku.
Aku mulai membayangkan perjalanan itu. Awalnya, aku berpikir untuk menggunakan motor. Dengan motor, aku bisa mencapai tempat-tempat wisata terpencil tanpa harus repot mencari transportasi tambahan. Tapi ada ide lain: bagaimana kalau aku backpacker-an saja? Mengandalkan kendaraan umum atau bahkan berjalan kaki.
Bayangannya terasa berbeda. Jika aku memilih motor, perjalanan mungkin lebih praktis dan efisien. Tapi jika aku menggunakan kendaraan umum, setiap detik perjalanan akan terasa lebih hidup. Mungkin aku akan merasakan perjuangan yang sesungguhnya: minta tumpangan, menikmati pemandangan di setiap terminal, pelabuhan, desa, hingga kota. Aku akan benar-benar berada dalam perjalanan, bukan sekadar mencapai tujuan.
Namun, ada satu hal yang agak menyakitkan untuk diingat. Tabunganku dulu sebenarnya cukup banyak. Tapi semuanya habis untuk biaya pendidikan. Berapa puluh juta yang sudah kugunakan, aku tidak tahu. Kadang aku bertanya-tanya, apa hasilnya dari semua itu? Tapi di sisi lain, aku percaya bahwa pendidikan adalah investasi yang tidak bisa diukur dengan uang.
Selain itu, aku tahu orang tuaku mungkin tidak akan setuju dengan ide ini. Aku bisa memahami kekhawatiran mereka. Barangkali memang begitulah menjadi orang tua: selalu khawatir anaknya kenapa-kenapa.
Yang membuatku benar-benar ingin mengejar mimpi ini adalah usiaku yang terus bertambah. Semakin tua, semakin banyak tanggung jawab yang harus kupikul. Aku tahu, jika nanti aku sudah berkeluarga, waktu untuk mewujudkan mimpi ini akan semakin sempit, atau bahkan tidak ada sama sekali. Aku hanya ingin menyelesaikan diriku sendiri sebelum terjebak dalam rutinitas yang membosankan.
Jika suatu saat mimpi ini tercapai, aku akan merasa lega. Tidak apa-apa jika setelah itu aku harus tenggelam dalam pekerjaan sampai akhir hayat. Setidaknya, aku tahu aku pernah menjalani hidup yang benar-benar kumimpikan.
Post a Comment for "Catatan Kecil: Tentang Mimpi Keliling Indonesia "