Di tengah keramaian kota yang tak pernah berhenti berdenyut, di mana lampu neon bersinar temaram, kamu duduk sendiri di sebuah kafe favoritmu, menyaksikan kehidupan mengalir di sekitarmu. Suara derap langkah orang-orang, tawa mahasiswa dan diskusi yang penuh semangat, keluarga yang menghabiskan waktu besama dengan hangat, sepasang kekasih yang begitu mesra, serta aroma kopi yang menggoda seakan menampar dirimu, mengingatkan akan ketidakberdayaan yang menggerogoti hatimu. Seolah semua kebahagiaan itu hanya untuk mereka, sementara kamu terjebak dalam bayang-bayang dirimu sendiri.
Kamu menggigit bibir, memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir pikiranmu. “Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?” bisikmu pada diri sendiri. Rasa benci yang dalam menghimpit dadamu, mengingatkan pada setiap kesalahan yang pernah kamu buat, setiap harapan yang hancur berkeping, mimpi yang tak tau kapan akan terbeli. Teman-temanmu, dengan semua pencapaian yang dipamerkan, hanya memperburuk perasaan itu. “Lihatlah mereka, hidup dalam bahagia, sementara aku hanya terperosok dalam kegalaln yang tak berujung ini,” ungkapmu dengan nada pahit.
Satu per satu, kenangan menyakitkan berkelebat dalam benakmu. Perasaan tidak berharga, kegagalan asmaramu, pendidikanmu, pekerjaanmu, impianmu mengikat dalam cengkeraman yang kuat. “Mungkin aku memang tidak layak,”ucapmu sambil menundukkan kepala, seolah untuk menghindari tatapan orang-orang di sekitar yang tidak peduli. Kamu merasa seperti burung di dalam sangkar, terus berputar dalam kebingungan dan kesedihan, terasing dari dunia di luar yang riuh penuh canda.
Tapi di balik kesedihan itu, ada suara kecil yang berusaha menggugahmu. “Tunggu, bukankah pikiranmu terkadang suka menipu?” tanyanya, lembut namun tegas. “Bagaimana jika kamu mulai melihat dirimu dari sudut pandang yang berbeda?” Dalam diam, kamu mencoba meresapi kata-kata itu.
Kamu teringat pada obrolan dengan seorang teman beberapa waktu lalu, yang juga merasakan kekosongan dalam hidupnya. “Kita semua berjuang dengan cara yang kita pilih. Dan catat satu hal ini, tidak ada cara yang sempurna, mereka semua juga sedang berusaha,” ujarnya, menciptakan sedikit harapan di hati yang penuh luka. “Mengapa kamu bahkan tidak memberi dirimu kesempatan untuk tumbuh? Hanya menghakimi dan membuatmu terbunuh?”
“Tapi bagaimana jika aku gagal lagi?” jawabmu dengan nada skeptis. Rasa takut akan kegagalan itu terasa begitu nyata, mencengkeram hatimu. Kamu membayangkan semua upaya yang sia-sia, semua rencana yang terhempas. Namun suara kecil itu kembali berbicara. “Kegagalan adalah bagian dari proses, kan? Kamu sudah tau itu. Bukankah banyak buku sudah kamu baca, diskusi yang kamu jalani, pemikiran yang kamu resapi. Kegagalan adalah guru terbaik, agar kamu belajar dari pengalaman pahit itu dan tidak mengulanginya lagi?’
Sejenak, kamu membiarkan dirimu terbawa dalam pikirannya. “Mungkin… mungkin aku harus bisa mulai menerima diriku yang penuh dengan ketidaksempurnaan dan keterbatasan ini.” Dalam keramaian yang hingar bingar, kamu mulai merasakan kembali benih harapan itu tumbuh. Setiap ketidakpuasan, setiap kebencian, setap kekeceaan adalah tantangan yang seharusnya bisa dihadapi dengan cara berpikir yang benar. Kamu mulai sedikit merasa punya dorongan untuk mengubah kisah ini menjadi lebih baik, untuk dirimu sendiri, untuk keluargamu, ayah dan ibumu.
Samar-samar dari kaca di kafe itu, kamu mulai melihat bayanganmu dengan cara yang berbeda. Bukan sekadar wajah yang penuh duka, tetapi sebuah wajah yang sudah berhasil melalui puluhan luka. “Aku tidak perlu seperti mereka, mulai hari ini, akan kuusahakan untuk memberi makna di setiap nafas yang kuhembuskan. Hidup ini tidak sempurna, dan tidaklah harus sempurna, memanglah demikian, kan. Lantas, kenapa selama ini aku begitu kerasnya memaki diri sendiri?,” katamu dengan tegas. Kamu menyadari bahwa perjalanan ini bukan tentang membandingkan dirimu dengan orang lain, tetapi tentang menciptakan jalanmu sendiri, di tengah semua kekurangan.
Saat kamu melangkah keluar dari kafe, udara malam terasa lebih segar. “Aku tidak akan membiarkan kebencian ini menguasai hidupku, aku harus melanjutkan hidup” bisikmu pada diri sendiri sedikit tersenyum tipis. Setiap langkah adalah langkah menuju penerimaan, langkah menuju cinta untuk diri sendiri. Dunia mungkin keras, tetapi kamu memiliki kekuatan untuk mengubah narasi. “Ini adalah kisahku, dan aku berhak untuk menulis cerita terbaik dari perjalanan hidupku.”
Post a Comment for "Catatan Kecil: Untukmu yang Sedang Membenci Diri Sendiri"